​Lee Jinki

Kim Kibum

Kibum terdiam dengan wajahnya yang memerah setelah menutup pintu rumahnya seusai mengakui aibnya sendiri. Semuanya sudah terjadi, ia harus siap dengan segala akibat yang akan diterimanya besok. Ia harus siap jika Jinki akan berakhir menjauhinya. Ia harus siap jika Jinki mulai menatapnya jijik besok.

“Kau menyukai Jinki.” kata pria lain yang ada diruangan itu―Jonghyun. Dan Kibum hanya diam dengan pandangan kosongnya.

Jonghyun datang beberapa menit lebih awal dari Jinki ke rumahnya. Jonghyun bilang ia mendapatkan alamat rumahnya dari Taemin. Dan pemuda itu juga datang untuk menanyakan alasan mengapa ia tak hadir di sekolah. Bedanya dengan Jinki, Jonghyun mengatakannya dengan lebih sopan dan membiarkan Kibum mempersilahkannya duduk ke ruang tamunya terlebih dahulu.

Jonghyun melihat semuanya sejak tadi. Melihat kembarannya datang dan menanyakan hal yang sama dengannya―lalu reaksi Kibum. Dan akhirnya Jonghyun menyadari sesuatu. Suatu jawaban mengapa Kibum sangat peduli pada Jinki.

Kibum menyukai kembarannya, Jinki.

Dan entah mengapa fakta itu cukup mengusiknya.

“Kau menyukai Jinki.” Jonghyun mengulang pernyataannya lagi. Kibum hanya diam tak berani membantah ataupun mengiyakan.

“Kibum?” Jonghyun kembali bersuara. Kibum yang mengerti pemuda itu menanti responnya menundukkan kepalanya lalu mengangguk pelan.

Jonghyun merasa napasnya tercekat. Ia merasa sesuatu menghantam bagian dadanya telak. Rasanya asing dan sangat tidak menyenangkan. Namun Jonghyun berusaha untuk mengendalikan dirinya sendiri.

“Sejak kapan?” tanya Jonghyun lagi. Pandangannya mulai kosong.

“Sejak ia pertama kali duduk disampingku.” Kibum masih menunduk. Tidak berani untuk melihat reaksi Jonghyun.

“Err―kenapa kau menyukainya?” Jonghyum mulai kembali menatap pemuda itu. Jawaban pemuda itu tadi membuatnya berpikir jika Kibum hanya menyukai Jinki dari wajahnya, “Maksudku itu berarti pertama kali kalian bertemu. Aku tahu bagaimana sifat Jinki, kau tak mungkin menyukai sifatnya. Apa kau menyukainya karena wajahnya?”

Kibum terdiam. Ia tak tahu dan tak pernah memikirkan mengapa ia bisa menyukai Jinki. Yang ia tahu hanya keinginan untuk selalu bersama pemuda itu sangat besar untuknya.

“Aku tidak tahu.”

“Jika kau hanya menyukai Jinki karena wajahnya―berarti kau juga menyukaiku?”

Jonghyun benar. Jika ia menyukai Jinki karena wajahnya seharusnya ia juga menyukai pria itu. Ya, seharusnya. Namun nyatanya ia tetap tak menyukai Jonghyun seperti ia menyukai Jinki. Ia menyukai Jonghyun seperti ia menyukai Taemin, sebagai teman. Jauh berbeda dengan perasaannya pada Jinki.

“Aku tidak tahu. Err―aku tidak bermaksud mengusirmu tapi aku sedang ingin sendiri sekarang, Jonghyun-ah.” Kibum kembali membuka pintu rumahnya dan mempersilahkan Jonghyun untuk pergi. Ia bersyukur Jinki sudah tidak ada saat itu―karena ia belum siap bertemu Jinki lagi. Dan ia tidak tahu kapan ia akan siap.

“Aku menyukaimu.”

“Apa?!” Kibum yakin ada yang salah dengan pendengarannya. Rasanya sangat mustahil jika pemuda itu tadi mengatakan bahwa ia menyukainya.

“Aku menyukaimu, Kibum.” kata Jonghyun lagi. Kini pemuda itu beranjak dari sofa ruang tamu Kibum dan berdiri tepat didepan pemuda itu, “Awalnya aku hanya penasaran denganmu. Mendengar orang-orang membicarakanmu dan Jinki membuatku penasaran padamu. Jinki tak pernah dekat dengan siapapun selama ini. Dan―aku sadar aku tak hanya sekedar penasaran padamu lag sekarang, Bum. Aku menyukaimu.”

Kibum membeku. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ini diluar ekspetasinya. Ia tak pernah berpikir jika Jonghyun bisa menyukainya.

“Aku pulang dulu.” kata Jonghyun, lalu mengacak rambutnya lembut dan pergi meninggalkannya sendirian. Kibum hanya menatap kosong punggung pemuda itu yang kini menghilang dari pandangannya.

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Jinki menjatuhkan tas sekolahnya sembarangan dan berjalan mengambil minuman dikulkasnya tak sabaran. Lalu, meneguknya dengan tak sabaran pula. Hari ini ia mendapat suatu fakta yang benar-benar diluar ekspetasinya. Jinki sama sekali tidak pernah berpikir jika Kim Kibum adalah seorang gay. Yang lebih parahnya, ia peduli pada pria gay itu.

Seseorang dengan wajah serupa dengannya tiba-tiba datang dan mengambil minuman lain dikulkas dengan wajah malas. Sesuatu yang sangat tak biasa karena Jinki lupa kapan terakhir kali kembarannya itu malas melakukan sesuatu.

“Kau pernah berpikir tentang berteman dengan seorang gay?” Jinki memulai menyuarakan pikirannya. Jonghyun menaruh botol minumannya lalu menatap pria itu dengan dahi berkerut.

“Kau sedang membicarakan Kibum?”

“Kau tahu?”

“Tentang orientasi seksualnya? Tentu saja.”

“Kau tahu dia gay? Dan tak memberitahuku?” geram Jinki. Jika Jonghyun sudah tahu sebelumnya, kenapa tidak memberi tahunya?

“Semua orang disekolah tahu tentang orientasi seksual Kibum, Jinki,” Jonghyun tertawa hambar menanggapi geraman Jinki, “Jangan terlalu acuh dengan sekitar mangkannya, hyung .” sambungnya dingin. Lalu, pergi meninggalkan Jinki sendiri.

Jinki hanya diam dengan ekspresi yang tak bisa terbaca. Pikirannya berkecamuk sekarang.

Diantara semua yang ada dipikirannya yang paling Jinki tidak mengerti adalah mengapa ia harus peduli dengan semua ini? Mengapa ia harus peduli dengan Kim Kibun?

Jinki sudah terbiasa bersikap acuh pada sekelilingnya. Dan kenapa ia tak bisa se-acuh biasanya pada Kibum?

Jinki memasuki ruangan kelasnya dengan kening berkerut. Ia baru saja melewati Kibum yang duduk ditempat terjauh dari tempat pemuda itu sebelumnya. Dan seseorang yang tampak asing bagi Jinki duduk ditempat pemuda itu. Yang berarti keduanya bertukar tempat duduk.

Jinki kembali duduk dibangkunya sendiri. Ia kembali bersikap acuh seperti biasa. Tanpa memperdulikan Kibum yang diam-diam meliriknya sejak tadi, Jinki memilih memasang earphone -nya dan menidurkan kepalanya diantara tangannya seperti biasa. Bersikap seolah-olah pindahnya tempat duduk Kibum benar-benar bukanlah apa-apa untuknya.

Kibum yang sedari tadi memperhatikan Jinki diam-diam menghela napas pelan.

Harusnya Kibum sudah tahu ini akan berakhir seperti ini.

Jinki tak peduli dan tak akan pernah peduli padanya.

Apa ia harus belajar melupakan Jinki sekarang―lalu belajar menyukai Jonghyun seperti yang disarankan Taemin?

Ia mencoba memikirkan itu semalaman―tapi hatinya seolah selalu menolak. Hatinya seolah selalu berteriak jika yang inginkan adalah Jinki bukan Jonghyun.

Tapi―apa yang bisa ia lakukan jika Jinki saja tidak menginginkannya? Lebih parahnya, pemuda itu tidak peduli padanya sama sekali.

Kibum menatap Jinki sekali lagi, lalu tersenyum miris sambil bergumam sangat pelan, “Aku mencintaimu, Jinki.” lalu, mengalihkan pandangannya kearah lain saat dadanya terasa semakin sesak.

Tepat setelah Kibun mengalihkan pandangnya kearah lain, Jinki gantian menatap pemuda itu dengan pandangan yang sulit diartikan.

Jinki tak mengerti mengapa tiba-tiba ia ingin pemuda itu ada disampingnya lagi. Kenapa rasanya ia ingin marah saat melihat pemuda itu memutuskan untuk pindah menjauhinya. Namun Jinki berusaha sekeras mungkin untuk menahan dirinya.

Itu bukan urusanmu, Lee Jinki. Katanya pada dirinya sendiri.

Dan Jinki terus menanamkan pemikiran itu dalam otaknya. Itu memang bukan urusannya kan?

Kibum tiba-tiba merasa mengalami deja vu ketika dirinya kembali berpapasan dengan Jonghyun ditoko buku. Terlebih lagi, keadaannya pun sama. Sama-sama disaat ia tak ingin bertemu dengan pemuda itu.

“Hai.” Jonghyun menyapanya seperti biasa. Dan Kibun hanya menunduk―tak berani melihat ataupun membalas sapaan pemuda itu.

Jonghyun mengerutkan keningnya melihat Kibum yang enggan menatapnya, “Dulu kau menjauhiku karena aku tahu tentang orientasi seksualmu. Dan sekarang kau ingin menjauhiku lagi karena aku menyukaimu, Bum?”

“M―maaf.” kata Kibum pelan tanpa menatap Jonghyun. Ia tahu mungkin pemuda itu kesal dengan sikapnya ini.

Jonghyun menghela napas. Lalu, tangannya tergerak untuk mengangkat dagu Kibun hingga ia bisa menatap pemuda itu, “Kalau fakta aku menyukaimu begitu mengusikmu kau bisa melupakannya, Kibum. Aku tahu kau menyukai Jinki bukan aku. Dan aku juga tidak bisa memaksamu menyukaiku. Jadi, kau tak perlu berusaha menjauhiku seperti itu lagi.”

Rasa bersalah tiba-tiba meliputi Kibum begitu mendengar kata-kata pemuda itu. Kibum tahu secara tidak langsung ia telah menyakiti Jonghyun. Secara tidak langsung sikapnya menyinggung perasaan pemuda itu. Padahal, pemuda itu sudah begitu baik padanya.

“Kau tahu resiko menyukaiku, Jonghyun-ah? Apalagi kau dari kelas A.”

“Kau tahu aku bisa menjaga diri kan, Kibum? Lagipula aku tak perduli apapun perkataan mereka. Kau tak perlu mengkhawatirkan itu.”

“Kalau begitu―” Kibum menarik napas dalam-dalam. Ia akan mengambil keputusan ini sekarang. Ini yang terbaik untuknya juga, “―bantu aku belajar menyukaimu.”

Jonghyun terdiam. Ia menatap pemuda itu lekat-lekat―mencari tahu apakah pemuda itu sungguh-sungguh dengan perkataannya atau tidak.

Sementara Kibum―tak hentinya mengucapkan maaf untuk pria dihadapannya ini dalam hatinya. Ini hal paling egois yang pernah ia lakukan. Kibum sendiri yakin ini tak akan berakhir baik. Paling tidak, ia akan menyakiti perasaan pemuda itu dan perasaannya sendiri. Lebih parahnya, ia akan membuat pemuda itu terlihat sama menjijikannya dengan dirinya dihadapan orang-orang.

“Baiklah.” Jonghyun memberikan senyum terbaiknya―lalu menarik Kibum kedalam pelukannya.

Jonghyun yakin Kibum pasti bisa menyukainya. Ia harus yakin karena ia tidak bisa meyakinkan orang lain jika dirinya sendiri bahkan tidak yakin. Yang Jonghyun pikirkan sekarang adalah bagaimana cara meyakinkan Kibum tentang hal itu.

“Bagaimana jika aku menyukai seorang pria, bu?”

“Uhuk!”

Pertanyaan Jonghyun berhasil membuat Joohyun yang baru saja meminum minumannya tersedak. Sementara Jinki dan ibunya menghentikan kegiatan mereka dan menatapi pemuda itu serius.

“Kau bilang apa barusan, Jong?” ibunya bertanya memastikan.

“Aku menyukai seorang pria.” jawab Jonghyun santai. Seakan ia baru saja memberi tahu ibunya jika ia memenangkan olimpiade.

“Bercandamu sama sekali tidak lucu, Jonghyun.” kata Joohyun yang sudah membersihkan hasil tersedaknya.

“Aku sedang tidak bercanda, nun.”

Nyonya Lee memijat kepalanya yang mulai terasa pening. Ia tak pernah memikirkan ini. Hari dimana anaknya akan mengaku jika menyukai seseorang dengan jenis kelamin yang sama dengannya. Ia harus apa sekarang?

“Apa tak ada wanita lagi disekolahmu, Jong?”

“Tapi aku menyukai dia, bu. Bukan orang lain.”

Tiba-tiba Jinki merasa jika Jonghyun sedang membicarakan tentang Kibum. Jinki heran bagaimana Jonghyun masih bisa terlihat begitu santai saat membicarakan hal seperti ini. Jinki dengan tanpa permisi pergi kekamarnya. Tak berniat mendengarkan percakapan itu lebih jauh.

Perasaannya kembali berkecamuk. Tapi yang paling jelas ia rasakan adalah―marah. Jika itu memang tentang Kibum dan pria itu berhasil membuat kembarannya gay―maka Jinki tak bisa tidak menyalahkan pemuda itu.

Tapi ada satu hal yang yang memicu kemarahannya. Bayangan Kibun bersama Jonghyun. Ia pikir itu sebuah rasa jijik tapi― Jinki tahu itu bukan. Ini berbeda dan asing. Rasanya seperti tidak rela membayangkannya saja.

Tiba-tiba, seseorang memasuki kamarnya. Jinki tak perlu berbalik untuk mengetahui siapa orang itu. Itu pasti kembarannya, Jonghyun.

“Kau menyukai Kibum?” Jinki bertanya to the point. Sementara Jonghyun yang ditanyai seperti itu memandang Jinki was-was.

“Memangnya kenapa? Kau tidak menyukainya juga kan?”

“Aku masih normal.”

“Bagus.” Jonghyun berdecih mendengar respon Jinki. Ia kini menoleh untuk menatap pemuda itu tajam.

“Oh,” Jonghyun tertawa hambar saat ia mengerti sesuatu, “Kau malu punya saudara kembar gay?”

Jinki langsung mengubah ekspresinya menjadi datar. Ia sama sekali tidak peduli dengan itu. Apapun yang terjadi, mereka tetap bersaudara. Ia tetap menyayangi Jonghyun sebagai adiknya berhubung ia lahir beberapa menit lebih dulu daripada pemuda itu.

“Tidak.” jawab Jinki singkat. Dengan nada mengakhiri percakapan mereka.

Pemuda itu langsung pergi meninggalkan Jonghyun setelah mengambil jaketnya. Ia bahkan tak memperdulikan ibunya yang berteriak menanyainya saat ia tanpa permisi berjalan keluar rumah mereka. Jinki tiba-tiba merasa membutuhkan udara segar untuk menjernihkan pikirannya sekarang.

Kibum bersyukur mendengar kabar dari Jonghyun jika ibu pemuda itu tidak begitu mempermasalahkan hubungan mereka. Kibum bersyukur ia tak menjadi perusak hubungan Jonghyun dengan keluarganya. Walaupun pada awalnya Joohyun terlihat begitu dingin padanya.

Hubungannya dengan Jinki sama sekali tidak berubah. Saat Jonghyun memintanya datang berkunjung kerumahnya― Jinki hanya akan meliriknya sekilas lalu mengacuhkannya. Sama seperti yang pemuda itu lakukan disekolah. Membuat mereka benar-benar seolah-olah tidak pernah saling mengenal. Dan itu cukup untuk membuat Kibum semakin sesak.

Kibum begitu merindukan Jinki. Rindu berbicara dengan pemuda itu. Rindu menatapi pemuda itu ketika tidur. Rindu membantu pemuda itu mengerjakan tugasnya. Kibum benar-benar rindu. Hingga Kibum merasa nyaris gila karena ia bahkan hanya bisa menatapi Jinki dari jauh.

Bagian lain dari hatinya merasa sangat bersalah. Bagaimana bisa ia berada disamping orang sebaik Jonghyun sedangkan hati dan pikirannya milik orang lain? Kibum benar-benar merasa menjadi tokoh antagonis dalam hal ini. Dan itu cukup untuk membebani pikirannya.

“Bum, kau melamun lagi.” Kibum tersenyum paksa mendengar perkataan Jonghyun yang berada dihadapannya. Pemuda itu kini menatapinya dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Maaf.”

“Apa―” Jonghyun terlihat sulit menelan salivanya. Sesulit menanyakan hal yang mengganggunya ini, “―kau memikirkan Jinki?”

Kibum tersentak, “Tidak. Tentu saja tidak.” dan Jonghyun tahu jika pria itu berbohong. Jonghyun hanya bisa tersenyum miris menanggapinya.

“Makan dengan benar, Bum. Aku tak ingin kau sakit.”

Kibum mengangguk pelan sambil tersenyum tipis dengan perhatian kekasihnya itu, “Kau juga, Jonghyun-ah.”

Tiba-tiba, orang-orang berlari meninggalkan kantin secara bersamaan. Mereka berlari dengan tergesa-gesa, membuat Kibum dan Jonghyun bertanya-tanya dengan penyebabnya.

Jonghyun menarik salah satu orang yang juga berlari tergesa-gesa mengikuti kerumunan, “Maaf tidak sopan. Ada apa sebenarnya?”

“Ada yang berkelahi dikoridor lantai dua.” lalu, orang itu langsung menarik diri dari Jonghyun dan mengikuti orang-orang yang lainnya.

Tiba-tiba Jonghyun merasa suatu kekhawatiran begitu mendengar kata berkelahi. Ia tiba-tiba merasa kesulitan menelan salivanya.

“Menurutmu―apa mungkin Jinki yang berkelahi?” kata Jonghyun menyuarakan perasaannya yang mengganjal.

Kibum langsung melotot. Lalu, tanpa berkata apapun Kibum bangkit dan berlari menuju koridor lantai dua. Dan Jonghyun dengan cekatan mengikuti pemuda itu.

Napas Kibum terasa tercekat begitu melihat Zico yang sudah babak belur berada dipinggir koridor dan terlihat sama sekali tidak berdaya. Sementara Jinki―tangan dan kakinya masih terus bergerak untuk memukuli Zico. Seakan tujuannya memanglah membunuh Zico. Kibum bisa melihat tatapan penuh amarah milik Jinki pada Zico.

Tak ada yang berani melerai mereka melihat Jinki yang benar-benar direlung emosi. Semuanya hanya menonton dengan wajah ngeri melihat Zico yang benar-benar sudah tidak berdaya.

Jonghyun yang baru berhasil melewati kerumunan orang-orang yang menonton perkelahian itu langsung melerainya dengan memegangi Jinki. Ia cukup kewalahan karena Jinki memang sangat kuat apalagi ketika ia sedang emosi. Namun Jinki langsung berhenti berusaha melepaskan diri ketika guru-guru datang dan langsung membawa Zico ke rumah sakit.

Jinki terlihat masih belum puas melampiaskan emosinya. Namun tangannya yang sudah dilepaskan Jonghyun ditarik paksa oleh seorang guru. Dan Jonghyun langsung memberikan kode pada Kibum untuk kembali kekelas duluan karena ia akan ikut menemani Jinki ke ruang guru.

Kibum tidak mengangguk ataupun menggeleng. Ia hanya menatapi punggung Jonghyun yang menjauh bersama Jinki dan gurunya dengan perasaan campur aduk.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Mengapa Jinki bisa semarah itu pada Zico?

Ia sudah tidak dekat dengan Jinki. Seharusnya Jinki tak memiliki masalah dengan Zico lagi karena penyebab masalah mereka sebelumnya adalah dirinya.

Kalau begitu sekarang apa lagi?

Kibum memilih mengabaikan isyarat Jonghyun lalu berjalan mengikuti mereka diam-diam sementara kerumunan orang-orang tadi mulai kembali kekelasnya masing-masing.

Kibum benar-benar tidak mengerti mengapa Jinki hanya diam saja saat diintrogasi oleh guru dan keluarganya. Jonghyun sudah menceritakan semua padanya―dan pria itu juga tidak mendapatkan jawaban mengapa Jinki memukuli Zico hingga separah itu. Jinki juga tak membela diri.

Jinki hanya diam ketika ditanya. Bibirnya selalu terkatup rapat seakan memberitahu orang-orang jika ia tak akan pernah mengatakannya. Sedangkan Zico masih berada dirumah sakit dan menolak untuk ditemui oleh siapapun.

“Awalnya Jinki hanya akan diskors. Tapi keluarga Zico menuntut lebih jadi Jinki akan dikeluarkan. Dan itu berarti―Jinki harus pergi ke Jepang dan tinggal bersama ayahku. ”

Kibum tak tahu apa yang bisa lebih buruk lagi dari berita yang Jonghyun sampaikan tentang Jinki. Ia bisa melihat Jonghyun dan keluarganya begitu sedih dengan kasus ini―tak jauh berbeda dengannya yang hanya bisa menangis dalam diam.

Itu berarti―ia tak bisa bertemu dengan Jinki lagi?

Hanya menatapi pemuda itu dari jauh saja sudah cukup menyiksanya apalagi sama sekali tidak bisa bertemu dengan pemuda itu. Kibum tak bisa membayangkannya jadi Kibum merasa ia harus melakukan sesuatu.

Kibum tahu apa yang ia lakukan ini gila dan mungkin tak akan menghasilkan apapun. Tapi ia harus mencoba segala hal untuk membuat Jinki tetap tinggal. Ia akan mencoba apapun untuk bisa terus bertemu dengan pemuda itu. Tak peduli jika tindakannya itu akan membuahkan masalah untuknya sendiri.

Kibum memilih menyusup ke rumah sakit dengan berpura-pura menjadi staff karena Zico tetap tak mau ditemui. Ia benar-benar harus bertemu dengan pemuda itu dan membujuknya untuk melepaskan tuntutannya pada Jinki. Dan Kibum sungguh bersyukur memiliki teman seperti Taemin yang mau membantunya dengan menarik perhatian staff rumah sakit.

Begitu sampai dikamar Zico, Kibum langsung melepas masker yang tadi menutupi wajahnya. Membuat Zico yang tadi menatapnya tanya kini menyeringai.

“Jalang sepertimu benar-benar nekat ternyata.”

“Zico, kumohon. Lepaskan tuntutanmu pada Jinki.” Kibum mengabaikan perkataan Zico dan memilih untuk mengatakan maksud kedatangannya.

“Tak akan pernah. Harusnya kau bersyukur aku masih belum menuntutnya ke penjara.” Seringai Zico semakin melebar begitu melihat Kibum melotot.

“Jangan! Aku akan melakukan apapun untukmu asal kau melepaskan tuntutanmu. Aku―aku―”

“Tapi aku tak butuh apapun darimu, Jalang.”

Kibum tahu akan begini jadinya jika ia meminta pada Zico yang sudah membencinya sejak dulu. Semuanya akan sulit seperti yang ia bayangkan.

“Sekali ini saja, Zico. Jika Jinki dikeluarkan, ia akan dikirim ke Jepang!”

“Well, itu memang yang aku inginkan. Kalau perlu, bajingan itu pergi untuk selamanya.”

Kibum menghela napas lelah. Ia sudah menduga akan menjadi seperti ini. Zico tak akan mengabulkan permohonannya. Semua usahanya untuk menerobos kekamar ini hanya akan menjadi sia-sia.

Tiba-tiba, Zico tertawa sinis. Lalu bertepuk tangan seolah pemuda itu baru saja melihat pertunjukkan yang hebat. Kibum hanya mengerutkan keningnya menatap pemuda itu aneh.

“Kau benar-benar pantas disebut jalang,” Kibum hanya diam. Berniat menanti Zico menyelesaikan kata-katanya, “Kau menggoda sepasang saudara kembar sekaligus. Padahal awalnya keduanya straight. Dan sekarang kau berusaha menjadi pahlawan untuk mereka.”

“Apa maksudmu sepasang saudara kembar sekaligus? Jinki masih straight. Kami hanya―”

“Jika dia straight, ini semua tak akan terjadi. Katanya kau cerdas, haha.”

“Aku benar-benar tidak mengerti arah pembicaraanmu.”

Zico berdecih setelah menghentikan tawa sadisnya, “Kau masih belum mengerti? Semua itu terjadi ketika aku sedang membicarakan betapa jalangnya dirimu dengan teman-temanku. Tiba-tiba si bajingan Lee itu datang dan menyerangku tanpa ampun. Untuk apa dia melakukannya jika kalian hanya teman?”

Kibum tersentak. Tubuhnya mematung. Tatapannya tiba-tiba menjadi kosong.

Jadi, Jinki memukuli Zico untuknya? Jinki berkelahi dengan Zico karenanya? Jinku mendapat masalah karenanya?

“Kenapa diam? Baru menyadari betapa jalangnya dirimu?”

Dan tanpa berkata apapun, Kibum berlari meninggalkan ruangan itu. Ia melepas dan membuang semua atribut penyamarannya untuk menyusup sambil berlari. Ia tak peduli dengan apapun lagi saat ini. Yang ada dipikirannya hanyalah bertemu dengan Jinki secepatnya.

Kibum mengetuk pintu rumah kediaman keluarga Lee dengan tak sabaran. Ia tak peduli disebut tidak sopan sekarang. Ia tak peduli jika bunyi ketukan pintunya akan mengganggu orang-orang sekitar. Ia tak peduli, sungguh. Yang ia pedulikan hanyalah Jinki.

Pintu rumah itu dibuka oleh orang yang dicarinya saat ini, Jinki. Kibum menatap mata pemuda itu dengan matanya yang sudah memerah karena menahan tangis.

“Kenapa kau melakukannya? Kenapa kau harus membelaku? Kenapa tak kau biarkan saja Zico merendahkanku?” Kibum mengeluarkan seluruh emosinya dihadapan pemuda itu. Air matanya turun bersamaan dengan selesainya kalimatnya

Sementara Jinki hanya diam. Tak tahu harus merespon seperti apa saat melihat air mata turun dari mata sayu pemuda itu. Ia juga tak tahu harus menjawab apa pada pemuda itu karena sampai sekarang ia masih bertanya-tanya mengapa ia bisa semarah itu mendengar Kibum direndahkan oleh Zico.

“Katakan sesuatu, Lee Jinki! Aku kan penyebab semuanya? Penyebab kau memukuli Zico? Penyebab kau mendapat masalah? Penyebab kau dikeluarkan?” Kibum berteriak lagi ketika Jinki hanya menatapinya tanpa berniat merespon perkataannya.

Kibum menghapus air matanya kasar. Ia benar-benar kesal saat Jinki tak kunjung memberikan respon apapun padanya, “Pada kenyataannya, Zico benar. Aku hanya jalang pembawa sial! Aku membawa sial pada―”

Jinki tak membiarkan Kibum menyalahkan dirinya sendiri dengan membungkam bibir pemuda itu dengan bibirnya. Jinki tahu tindakannya ini mungkin akan menyakiti kembarannya, tapi ia sudah tak tahan lagi. Hanya sekali ini―dan lagipula ia akan pergi ke Jeppang setelah ini.

Jinki hanya menempelkan bibirnya tanpa melumatnya. Niatnya hanya untuk menenangkan Kibum dan ia tak akan mengambil kesempatan lebih hanya karena ia begitu menginginkan pemuda itu. Jinki tak tahu apakah itu alasan yang tepat mengapa ia begitu peduli pemuda ini.

Jinki menjauhkan dirinya begitu dirasa Kibum sudah cukup tenang. Sementara Kibum membatu dengan tatapan terkejutnya. Ia merasa seluruh sistem sarafnya berhenti berfungsi untuk sejenak. Otaknya terasa begitu lamban mencerna semuanya.

“Pulanglah, Kibum. Aku harus berkemas.” lalu, Jinki kembali menutup pintu rumahnya tanpa menunggu respon Kibum.

TBC
Next chap END!!! Jangan lupa komen biar dpt PW