​Lee Jinki

Kim Gweboon

Lee Jinki menatap wajah tertidur di sampingnya. Gadis itu terlalu cantik, dengan tanpa cela. Sampai ada ketakutan kalau-kalau sewaktu-waktu ada seseorang yang mencuri gadis itu dari sisinya. Kalau hal itu sampai terjadi, ia tak tahu neraka macam apa yang bakal dihadapinya.

Alisnya mengernyit di sela-sela tidurnya, “U-ugh…” geliatnya terbangun.

Jinki mengecup kedua matanya dengan sayang. Menyentuh pipinya dengan hati-hati. Tidak perlu jadi jenius untuk tahu kalau Lee Jinki terlalu mencintai gadis ini.

“Pagi…?” Gadis itu menyapa. Lee Jinki mengecup bibirnya dan lantas menjawab, “Kalau menurutmu jam sebelas siang itu masih pagi. Yah, oke, selamat pagi.”

Gadis itu, Kim Gweboon, tergelak singkat. “Ya! Salah siapa yang ‘membombardirku’ sampai subuh sampai aku nyaris mati kelelahan.”

 Jinki berkata dengan nada rendah yang menggoda, “Lalu haruskah aku menyalahkanmu yang berpakaian terlalu seksi semalam?”

Gweboon mendengus dan beranjak bangun terduduk.   Jinki dengan sigap menumpukan bantal-bantal di headboard-ranjang untuk disenderi Gweboon, yang kemudian Gweboon melemparkan diri ke tumpukkan bantal-bantal itu dengan nyaman.

“Kau memang punya selera yang aneh, ahjussi.Jadi di matamu sehelai daster belel bergambartweety itu seksi, hah?”

Jinki mengangguk mengiyakan dan tersenyum miring, senyum yang meluluh-lantakkan logika gadis-gadis.

Ngomong-ngomong soal semalam—Pria itu sungguh tak dapat menahan-nahan nafsunya lagi saat gadis itu melakukan hal nista ini kepadanya: terlihat begitu polos tanpa pulasan riasan apapun, rambut panjang lurusnya yang digerai asal, serta mengenakan daster dibawah lutut yang menenggelamkan tinggi badannya yang tidak seberapa. Membuatnya gemas untuk sesegera mungkin mengurung gadis mungil itu di dalam ‘rangkulannya’—tentu dengan keadaan berkeringat, merona, dan mendesah.

Terlihat sepolos itu memang benar-benar godaan mutlak bagi pria seumurannya.

Seumurannya? Mereka terpaut angka yang cukup jauh. Lee Jinki tahun ini menginjak angka tiga-lima sementara Gweboon delapan-belas. Silahkan selisihkan sendiri pautan angkanya, dan dipersilahkan untuk tertohok dengan senang hati.

Lee Jinki merangkul Gweboon di lengannya, posesif. “Ayo menikah.” Ucapnya santai, seolah-seolah melamar gadis memang semudah dan sesederhana itu.

“Cari gadis lain kalau begitu. Aku masih harus kuliah dan bekerja dan bersenang-senang. Dan aku belum mau hamil dan mengurus suami. Terlebih suami yang manja macam Lee Jinki.”Gweboon juga menjawabnya dengan semudah itu. Jelas saja, ini bukan lamaran pertama yang diterimanya dari Jinki.

Jinki menaruh dagunya di atas kepala Gweboon. “Maka cepatlah selesaikan urusan sekolah dan senang-senangmu, arra? Kau harus sadar kalau kekasihmu ini sudah tidak muda lagi.”

Gweboon memasang wajah pura-pura polos, “Yahahjussi, memangnya kau itu kekasihku?” Jinki menggeram—pura-pura—marah. Dan menggelitiki badan polos gadis itu, “Bilang apa kau? Coba ulangi lagi?!”

-o0o-

Dua tahun yang lalu. Gweboon dan Jinki bertemu di dalam sebuah klab yang juga merangkap pubdan bar.

Gweboon adalah definisi remaja bebas, orang tuanya sudah meninggal sehingga urusan perwaliannya jatuh ke seorang pengacara yang tidak pernah benar-benar peduli padanya. Uang yang melimpah dan keputus-asaan membawanya ke kebiasaan yang tidak benar. Saat itu, hidup Gweboon adalah tentang alkohol, clubbing, dan segala hal yang pada intinya senang-senang.

Sampai suatu malam, Lee Jinki untuk pertama kalinya bertemu dengan Gweboon.

Gadis itu cuma setinggi bahunya, wajahnya amat cantik tapi sayang, gadis itu selalu nampak mabuk. Laki-laki hidung belang kerap kali memanfaatkan Gweboon yang sedang mabuk. Entah itu menggodanya sampai mencoba-coba untuk menyentuh tubuh mungilnya. Dan atas dorongan perasaan anehnya, Jinki merasa protektif atas gadis itu.

Maka malam itu dia membopong Gweboon dari klab ke penthouse-nya. Tanpa berkenalan dan secara paksa. Gweboon jelas memberontak meski dibawah pengaruh alkohol, tapi hal itu sia-sia karena pada dasarnya Lee Jinki adalah laki-laki—dan laki-laki punya tenaga yang lebih besar dari perempuan.

Dan Jinkj menciumnya sesampainya mereka di rumah, membuat Gweboon tergugu dan—out of nowhere—merasa disayangi.

Seperti orang yang tidak punya pekerjaan, sejak itu Lee Jinki sering muncul tiba-tiba di hadapannya.

Suatu hari, Lee Jinki muncul di sekolahnya. Menjemputnya dan membawanya kembali ke rumahnya. Memperlihatkan pada Gweboob sebuah ruangan berlantai dua dimana di dalamnya terdapat bar, DJ, lantai dansa dan kursi-kursi sebagaimana halnya di klab pada umumnya. Dan Jinki mengatakan padanya untuk tidak datang ke klab lagi melainkan datang kepadanya. Jinki selalu bisa ditelepon kapan saja dan saat Gweboon memintanya datang, pria itu pasti akan datang.

Entah bagaimana persisnya, hubungan mereka berkembang pesat selama dua tahun. Mereka berciuman, bercinta, tinggal serumah, selayaknya pasangan suami istri. Tanpa ada yang tahu ataupun yang mengerti.

Mereka hanya menikmatinya.
-o0o-
Jam menunjukkan pukul lima sore. Gweboon menampakkan diri di rumah mereka, “Aku pulang!”

Lee Jinki menatap bayangan Gweboon yang nampak kelelahan dengan pundaknya yang melorot lesu, tidak ada lagi Gweboob yang ceria dan bersemangat semenjak gadis itu naik kelas ke tahun terakhirnya di Sekolah Menengah—beberapa bulan yang lalu. Pria itu beranjak dari sofa bed-nya dan menghampiri Gweboon, memeluk gadis itu.

Gweboon  meloncat tanpa aba-aba, melingkarkan kakinya ke pinggang Jinki. “Gendooong.”

Jinki mengecup pipinya sekilas dan berjalan ke lantai dua dengan Gweboon  yang terkulai di bopongannya. Saat melewati pelayan pribadinya, Jinki memberi isyarat untuk membawa makan malam Gweboon  ke kamar.

Sesampainya di kamar, Jinki membaringkan Gweboon di kasur. Pria itu tak lama bergabung berdampingan dengan gadis itu, merangkulnya dengan pelukan longgar sementara Gweboon membaringkan kepalanya di dadanya sembari memejam mata. “Hari ini capek sekali. Aku harus sekolah sampai sore dan bimbel setelahnya. Belum lagi malamnya aku masih harus mengerjakan PR. Aku benci sekolah…” Gweboon mencerocos panjang lebar.

Jinki menjawil hidung bangir Gweboon playfully. “Nah bocah, sudah kubilang ‘kan? Daripada kuliah, akan lebih menyenangkan jika menikah denganku saja. Yang harus kau lakukan cuma menungguku pulang kerja dan mengurusiku. Sisanya kau boleh berbelanja dan jalan-jalan kemana saja asal itu atas izinku dan denganku tentu saja.”

Gweboon mendengus sebal, membuka matanya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Jinki. “You wish!” Jinki menjawabnya dengan menciumnya sekilas dan menunjukkan cengiran sok tidak berdosa. Saat Gweboon dilihatnya senang dengan ciuman itu, Jinki melanjutkan dengan mengulum bibir mungil itu. Merasakan manisnya dengan sesekali menjulurkan lidahnya. Ciuman itu berubah panas dan agresif saat Gweboon membalasnya, merangkulkan lengannya ke leher Jinki dan semakin memapas jarak di antara mereka.

Pria itu menaruh tangannya di pinggang Gweboon, mengeluarkan kemejanya yang dimasukkan ke roknya dengan serampangan. Dengan tidak sabaran, tangan itu menyusup ke dalam kemeja Gweboon dan meraba-raba perut ratanya. Merasakan halus dan mulusnya kulit putih itu. Tangan itu naik, dan naik…..

Tok! Tok! Tok!

Gweboon terkejut dan memisahkan diri, membuat Jinki menggeram kesal. Siapa yang berani-beraninya mengganggu ‘kegiatan-favorit-nya’ bersama Gweboon?! Ia melenguh saat ingat tadi ia menyuruh pelayannya untuk mengantarkan makan malam.

Tanpa melepaskan rangkulan posesifnya, Jinki menyusut bibir Gweboon yang basah karena salivanya, merapikan rambut dan kemejanya yang sudah tersingkap sampai ke bawah dada. Dan bersuara dengan lantang, “Masuk!”

Pelayan itu merona saat mendapati kedua majikannya sedang berpangku-pangkuan dengan mesra. Gweboon yang malu setengah mati berusaha turun dari pangkuan Jinki tapi pria itu dengan menyebalkan menahan pinggangnya dengan erat. Maka ia membenamkan wajahnya yang memanas ke bahu lebar Jinki, mengutuk pria itu dengan berbisik. “Dasar menyebalkan!”

Pelayan itu membungkuk dan keluar dari kamar dengan terbirit-birit, tak lupa ia juga menutup pintunya cepat-cepat.

Dan Jinki tertawa terbahak-bahak sementara Gweboon merengut masih merasa malu dan kesal.
-o0o-
Gweboon menyuapkan sendok makan malamnya yang terakhir saat Jinki kembali masuk ke kamar. Tadi Jinki menerima telepon yang sepertinya sangat penting dan meninggalkannya di kamar yang sedang menghabiskan makan malamnya.

Gweboon meneguk susunya saat Jinki meraih mantel kesayangannya dari lemari. Seperti bisa membaca pikiran, Jinki menghampirinya. “aku ada urusan sebentar,”

Pria itu mengecup bibirnya lembut, “Sepertinya akan lama. Jangan kemana-mana. Jangan tidur malam-malam. Kalau jam sembilan aku belum pulang, kau harus tidur duluan arra? Aku tidak mau melihatmu kelelahan lagi besoknya, kau mengerti?”

Gweboon memutar bola matanya dan mengangguk malas. Jinki menciumnya lagi sekali dan memutuskan untuk pergi.

Kalau terus mengikuti keinginannya, Lee Jinki pasti lebih memilih kembali membenamkan bibirnya di bibir merah muda itu dan mengabaikan fakta kalau ia harus pergi sekarang juga.
-o0o-
Gweboon menggigiti pulpennya, bad habit of course.Dia akan berlaku begitu kalau ada yang mengganggu pikirannya. Pikirannya melayang-layang seolah tak ada guru matematika yang sedang menerangkan pelajaran penting di hadapannya. Memahami trigonometri tidak lebih penting daripada Lee Jinki, saat ini.

Jinki pulang jam empat subuh pada akhirnya. Dia terbangun karena merasakan beban di bahu dan perutnya, apalagi bukan karena ahjussi manja yang membenamkan wajahnya di bahunya dan sepasang tangan posesif yang melingkar di pinggangnya. Selain karena Jinki juga tidak pernah pulang selarut itu, juga Gweboo  mencium sesuatu. Bau alkohol murahan dan rokok. Juga bekas merah keunguan di tengkuk pria itu,kissmark sign.

Tentu saja ia tahu betul karena itu juga bekas yang didapatinya kalau liburan musim panas datang. Saat liburan, Jinki akan ikut mengambil cuti, yah dia bisa melakukan sesukanya karena dia adalah bos untuk dirinya sendiri. Dan kalau sudah begitu, Jinki akan mengurungnya di kamar untuk empat sampai lima ronde yang melelahkan. Bukan hal aneh sebetulnya—maka dari itu selama liburan musim panas ia harus mengenakan baju dengan turtle-neck untuk menutupi bekas-bekas nista seorang Lee Jinki.

Menilik sifat pria itu yang—terlihat—begitu mencintainya, ia dengan akal sehatnya tentu tidak akan percaya kalau Jinki sampai melakukan hal-ini-itu dengan wanita lain. Tapi emosi labilnya mengatakan, bisa saja Jinki bosan padanya yang masih bocah dan butuh sentuhan wanita lain yang lebih matang dan dewasa. Pikiran-pikiran itu men-distract-nya dari segala hal dan jelas membuat pusing.

Sampai dirasakannya gebrakan di mejanya.

Dilihatnya guru matematikanya sudah ada di sampingnya dan menatapnya dengan sangar, “ke ruang guru pada saat jam istirahat.”

Gweboo  mengangguk dan menelan ludahnya dengan susah payah.
-o0o-
Sebenarnya guru matematika itu sangatlah rupawan. Masih muda dan gayanya lumayan. Yang jelas, sangat dateable. Namanya, Choi Minho. Tapi sikap otoriternya membuat Gweboon muak, ia disuruh menyelesaikan empat puluh soal trigonometri di hadapannya juga. Jelas ia tidak bisa mencontek apalagi minta dikerjakan orang lain (tadinya ia mau minta tolong kerjakan pada si culun-tapi-jenius Taemin yang sangat terobsesi padanya).

Choi Minho tidak bergerak sesenti pun dari posisinya yang sedang sibuk dengan buku tebalnya. Ia tidak bisa kabur. Padahal sudah jam setengah enam sore dan ponselnya terus-menerus bergetar—Lee Jinki penyebabnya tentu saja. Siahjussi menyebalkan itu pasti berpikir dirinya sedang bersenang-senang, pikirnya. Tapi ia juga tidak punya keberanian untuk menginterupsi minta mengangkat telepon barang lima menit.

Guru menyebalkan itu juga semakin otoriter karena tadi dia sudah menelepon pengacara Park, mengadukannya. Seharusnya ia mengiyakan saja saat Jinki itu menawarkannya membereskan masalah perwaliannya kemarin-kemarin, memindah-tangankan perwaliannya ke kekasihnya itu.

Aaargh! Gweboon semakin gila saat soal laknat itu masih bersisa tujuh soal lagi dan ia tidak bisa menyelesaikannya sama sekali!
-o0o-
Choi Minho menatap rumah di hadapannya dengan kagum. Semua orang korea tahu kalau rumah di depannya adalah rumah salah satu keturunan chaebol Lee. Dan siswinya ternyata salah satu bagian dari konglomerat itu, tapi Minho mengernyitkan keningnya.

“Bukankah margamu Kim?” tanyanya. Gweboon gelagapan, belum ada kenal baik padanya dan tahu rumah ‘baru’-nya. Choi Minho ini yang pertama. “S-sepupu. Aku sepupu dari Lee Jinki.”

Choi Minho mengangguk. “Oh.”

Gweboon baru menekan kenop saat Minho berbicara lagi. “Jangan lupa kau harus mengikuti bimbel matematika denganku mulai besok. Setiap hari. Kau harus sadar kalau ujian tinggal satu bulan lagi. Maka, jangan coba-coba kabur.”

Gweboon mengangguk sebal dan turun dari mobil SUV hitam itu. Tanpa menunggunya masuk pagar, mobil itu melaju pergi menghilang di tikungan. Dasar berengsek, kutuknya dalam hati.

Lalu didengarnya seseorang berdeham, jenis dehaman yang bukan karena batuk tapi jenis dehaman yang tujuannya untuk menyindir.

Gweboon menoleh dan melenguh. Lee Jinki berdiri di dekat pagar dengan wajah sangar dan alis menukik, dia jelas-jelas pasti melihat kalau Gweboon baru saja diantar pria. Dan hanya keajaiban saja kalau Jinki percaya bahwa Choi Minho adalah guru matematikanya, dan guru matematika itu pula yang menahan dia sampai malam.

Selesai masalah Choi Minho, ia baru ingat kalau ia masih ada satu masalah lagi: bernama Lee Jinki.
-o0o-
“…Kau mau aku percaya kalau ada guru laki-laki yang menahanmu di sekolah sampai jam tujuh malam?” Lee Jinki murka, sementara Gweboon yang sudah mengatakan yang sejujurnya cuma bisa pasrah dan diam.

Jinki yang dengan posisi memunggunginya terlihat tegang—otot punggungnya nampak tidak rileks. Napasnya juga memburu. Sampai suatu ide muncul di kepala Gweboon, gadis itu beranjak dan berdiri di hadapan Jinki.

Jinki menatapnya tajam sampai ia membelalak saat Gweboon memelorotkan roknya. Menurunkan celana dalamnya…

“Stop! Stop! Kau kira aku akan berhenti marah kalau kau berdiri telanjang di hadapanku?!”

Gweboon mendengus, “bukan! Dasar ahjussi mesum! Cuma ini cara agar kau percaya…. Kau berpikir aku melakukan yang tidak-tidak ‘kan?”

Gadis itu meraih jemari Jinki. Memegang telunjuknya dan mengarahkan ke daerah sensitifnya. Pria itu melotot saat telunjuknya perlahan namun pasti tenggelam dalam lubang kenikmatan itu. Penisnya lantas menegang saat Gweboon melontarkan desahan lirih, “ng-nggh..ngh….”

Gweboon berusaha bicara meski sulit. “K-kering kan?” gadis itu mengeluarkan telunjuknya dan menaruhnya di depan penciuman Jinki. “Tidak ada sperma kan?”

Meski pria itu sudah jelas-jelas terangsang, dia masih berusaha menggunakan logikanya. “Kau bisa saja melakukan anal sex.” Gweboon berdecak dan mengarahkan telunjuk pria itu ke duburnya. Menusukannya disana. “..A-aawh..h—hhh..” Jinki merasakan lubang itu kering, kering sekali malah.

Gweboon melepaskan telunjuk itu dan mendesah lega. “Terserah kau mau percaya atau tidak.”

Gadis itu hendak berbalik saat Jinki mendorongnya ke tembok. “Setelah menggodaku sebanyak itu, kau mau kemana?” Nadanya rendah dan seksi, meski masih ada terdengar sedikit emosi. Membuat Gweboon bergidik karena sensasinya.

Tahu-tahu Jinki membenamkan bibirnya ke bibir Gweboon. Mengecupnya lambat-lambat sampai pria itu mengulumnya rakus. Menciumnya penuh-penuh. Tidak menyisakan satu senti pun daerah bibir Gweboon yang tidak dijamahnya. Kedua tangannya merangkum pinggang ramping Gweboon. Dan dia mengecup bibir empuk itu puas saat Gweboon juga membalas ciumannya.
-o0o-
Jinki menghentakkan penisnya. “..e-enggh!” Gweboon mendesah mengeluh, vaginanya berdenyut-denyut karena itu.

Pria itu kembali mengeluar-masukkan penisnya secara tidak teratur, sesukanya; which is so his style. Mengundang erangan-erangan erotis dari keduanya. Kedua tangan Gweboon bertumpu pada dua lengan Jinki agar ia tetap stabil meski pria itu menggenjotnya semakin kuat dan cepat. Kedua kelamin itu bergesekkan semakin erat saat dirasakannya penis Jinki berdenyut-denyut. Pria itu akan mengalami orgasme.

Gweboon mengelap keringat di kening Jinki dan menyampirkan poninya yang sudah panjang. Pria itu menukikkan alisnya, keningnya mengkerut, merasakan sempit yang sangat di penisnya. Yang tentu saja itu hal yang sangat positif buat kelangsungan ‘hidup’ Lee Jinki junior.

Sadar kalau hari itu masa subur gadisnya, Jinki mengeluarkan penisnya dan menyemprotkan semennya di perut Gweboon. Sementara nikmatnya orgasme mengacak-acak akal sehatnya, ia mencium Gweboon dalam-dalam. Tangan mungil Gweboon berhenti di rahangnya, merasakan otot rahang Jinki yang bergerak-gerak maskulin—otot yang sedang digunakan mencium bibirnya.

Jinki menempelkan kening mereka berdua. “..Mianhae.” ia mengecup bibir itu lagi. Dia takkan pernah merasa puas dengan apapun yang berhubungan dengan Gweboon. Apapun itu.

“…Karena tidak percaya padamu.” Kecupnya lagi. Gweboon mengangguk dan memeluk Jinki. Merasakan feromon pria itu yang bercampur keringatnya, seksi.

Sementara Gweboon mengistirahatkan diri, Jinki melirik jam dinding. Baru pukul delapan malam. Satu ronde lagi tentu takkan mengganggu jam istirahat Gweboon. Pria itu menyeringai nakal dan menekan penisnya lagi ke tempat dimana dia seharusnya ‘bersarang’. Keduanya sontak mendesah.

Gweboon memukul ubun-ubun Jinki. “Dasar mesum!”

Jinki menyeringai dan mulai bergerak.
-o0o-
Gweboon menuruni tangga dengan tergesa-gesa, Jung ahjumma mengikuti nona mudanya juga dengan tergesa-gesa. Jelas saja, penyebabnya adalah Gweboon yang susah bangun tidur sehingga ia sudah benar-benar terlambat.

Dengan serampangan, gadis itu duduk di samping Jinki yang sedang santai menikmati kopinya. Napas gadis itu ngos-ngosan, tapi ia masih sempat mendelik ke arah Jinki. “Tidak usah sinis begitu. Semalam kau bahkan tidak menolak atau protes, bocah.” Jinki mengatakannya sembari menahan tawa.

Gweboon yang sedang mengunyah nasinya tidak menjawab apa-apa. Sementara Jung ahjummayang sedang mengikat rambut Gweboon justru merasa malu, ia mengerti apa yang dimaksud tuan mudanya dan merasa miris dengan moral anak bangsa zaman sekarang. Jung ahjumma tahu kalau mereka berdua melakukannya dengan cinta, tapi seharusnya keduanya sadar kalau apa yang mereka perbuat itu bukan hal yang terpuji.

Jung ahjumma tak lama membungkuk dan menyingkir dari pasangan itu. Meninggalkan ruang makan itu dengan hening dan tersisa mereka berdua.

Gweboon yang masih sebal dengan Lee Jinki langsung beranjak, merajuk. Namun tanpa disangka-sangka selangkangannya terasa amat ngilu dan betisnya pegal-pegal—Oleh-oleh dari Lee Jinki junior semalam.

“awh—“ Gadis itu meringis. Tubuhnya berdiri dengan tumpuan kaki yang menekuk, lemas.

Jinki sontak merasa khawatir. Tahu dengan pasti alasan kenapa Gweboon merasa sakit.  “Kau masih kuat berjalan?”

Kim Gweboon meringis kembali dan menggeleng.
-o0o-
Kim Gweboon mematikan televisi.

Tidak ada yang seru untuk ditonton. Di rumah juga tidak ada siapa-siapa, maksudnya Lee Jinki itu kan empat jam yang lalu sudah berangkat kerja. Kalau mengingat ekspresi pria itu yang nampak begitu khawatir padanya—saat tadi pagi—rasa-rasanya hatinya mendadak menghangat. Pria itu juga mengatakan dengan ekspresi bambi-nya, kalau ia tidak bisa mangkir dari pekerjaan karena bakal ada meeting penting saat makan siang. Tapi Lee Jinki berjanji akan segera pulang as soon as possible.

Gadis itu menatap majalah busana yang tergeletak di nakas dekat ranjang. Tiba-tiba ia mendapat ide untuk membunuh kebosanannya: belanja. Ia jadi ingat kalau ada sepatu yang ditaksirnya di Myeongdong, sontak saja senyumnya mengembang.

Lee Jinki? Dia sempat mengurungkan niatnya takut ketahuan ahjussi menyebalkan itu tapi dia bisa mati kebosanan! Lagipula sekarang masih jam sebelas siang, pria itu baru pulang jam empat paling cepat. Dan terlebih dia ada meeting saat makan siang ‘kan? Kemungkinan dia keluar kantor pasti kecil sekali!

Gweboon berganti pakaian dan mengulas bedak tipis. Ia meraih dompet dan ponsel, kemudian bergegas keluar dari kamarnya. Sesampainya di bawah, ia menghampiri Jung ahjumma.

“Ahjumma, aku mau jalan-jalan sebentar. Kalau Jinki telepon bilang saja aku sedang tidur.“

“Tapi agasshi, kalau tuan muda marah—“

Gweboon  tersenyum menenangkan asisten rumah tangga paruh baya itu. “Tidak akan! Kalau dia marah, aku yang tanggung jawab. Pokoknya sebisa mungkin jangan sampai dia tahu aku pergi keluar.”

“tapi—“

“Bosan sekali di rumah sendirian, ahjumma.Pokoknya aku janji akan pulang sebelum jam tiga sore, oke? Kim ahjussi, ayo panaskan mobilnya!”

Jung ahjumma cuma bisa menghela napas pasrah melihat nona mudanya melenggang meninggalkan rumah sembari melambai ceria ke arahnya.
-o0o-
Gweboon menenteng tiga paper-bag dengan wajah yang sumringah. Sakit di selangkangannya atau pegal-pegal di betisnya hilang dalam satu kedipan magis. Satu pasang sepatu dan dua potong kaus berhasil mengobati segala macam sakit yang dideritanya.

Gweboon memasuki mobil dengan ceria—tidak seperti saat dia turun mobil tadi. Gweboon menepuk pundak Kim ¬ahjussi. “Ayo kita pulang!”

Tadi Jung ahjumma menelepon kalau Lee Jinki itu menelepon ke rumah karena panggilan ke ponselnya tidak diangkat. Untungnya, pria itu percaya begitu saja saat Jung ahjummamengatakan Gweboon sedang tidur siang. Tidak biasanya. Tapi sudahlah, yang penting dia selamat dari omelan ahjussi itu.

Macet melanda kawasan Gangnam, bulir-bulir keringat menuruni dahinya akibat khawatir Lee Jinki itu sampai di rumah lebih dulu darinya. “agasshi, bagaimana kalau kita lewat jalan tikus saja? Memang agak kumuh, tapi setidaknya kita tidak terjebak macet dan terlambat sampai di rumah.”

Gweboon mengangguk mengiyakan begitu saja. Dan mobil sedannya bergerak ke sebuah jalan gelap dan kumuh, sampah dan gelandangan berserakan di lingkungan yang sama. Mobil sedannya menemukan jalan raya beberapa kilometer kemudian. Ia mendapati banyak love hotel yang berjejeran. Ia tak habis pikir bagaimana bisa mereka membangun hotel di kawasan kumuh macam ini.

Tapi… “ahjussi, berhenti!”

Kim ahjussi sontak berhenti dan wajahnya mendadak kaku. Aneh. “Ada apa, agasshi?”

“Bukankah itu sedan-nya Jinki?” Mereka berdua mengamati sebuah sedan mewah yang terparkir di pelataran salah satu hotel, dari plat nomornya keduanya yakin kalau itu adalah mobil Lee Jinki. Gweboon merasakan suatu firasat yang janggal, logika dan emosinya berkejar-kejaran tidak stabil. Pertanyaan pertanyaan mendesaki pikirannya. Bukankah Jinki bilang tadi ada meeting penting? Meeting penting tidak mungkin kan diselenggarakan di love hotel yang kumuh macam ini?

Waktu terus berlalu. Kim ahjussi sesekali menoleh ke arah Gweboon yang menatap hotel itu dengan pandangan kosong.

Gweboon lantas ingat bagaimana tadi kim ahjussi mendadak kaku dan gugup. Tiba-tiba ia mencetuskan pertanyaan. “ahjussi, apakah ahjussi yang mengantarkan Jinki pergi malam-malam beberapa hari yang lalu?”

Kim ahjussi berusaha jujur. “Ne.”

Gweboon merasakan genangan air mata merangsek dari kedua matanya. “Apakah tujuannya kesini? Kelove hotel ini?”

Kim ahjussi menunduk, bibirnya membisu. Matanya menatap Gweeboon dengan pandangan bersalah. Gweboon terisak, jadi Jinki mengkhianatinya?

Gweboon melontarkan pertanyaan lagi dengan sesenggukan. “Ap-apakah sering?”

Ahjussi tidak berani menatap wajahnya, tapi pria paruh baya itu mengangguk. Tangis Gweboon pecah, tapi rasa ingin-tahunya masih ada. “Se-sejak kapan?”

“enam bulan yang lalu.”

Kim Gweboon mengepalkan tangannya. E-enam bulan yang lalu? Saat itu adalah saat pertama kali Jinki melamarnya. Jadi si berengsek itu mengkhianatinya sekaligus melamarnya? Begitu? Ia benci mengingat selama ini ia percaya dengan segala sikap manis dan perhatian Jinki padanya. Ia harusnya sadar dan bertanya saat ia melihat kissmark sign beberapa hari yang lalu.

Di dunia ini memang tidak ada yang menginginkannya. Tidak ada yang mencintainya.

Harusnya dia tidak jatuh ke pelukan Jinki semudah itu. Ia sudah menyerahkan segalanya. Cinta, miliknya yang paling berharga—segalanya. Dan ini balasan Jinki untuknya?

Tanpa menunggu apa-apa lagi, Gweboon membuka suara. “Jalan, ahjussi—“

“—ke apartemenku.”

Wajah Gweeboon mengeras. “Dan jangan bicara pada siapapun soal keberadaanku.”

Tbc
Maaf typo bertebaran